Kerajaan Buleleng – Sejarah, Raja-Raja

Kerajaan Buleleng – Sejarah, Raja-Raja – Dalam pembahasan kali ini, kita akan mengeksplorasi tentang kerajaan Buleleng, yang meliputi aspek sejarah, kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, mari kita simak ulasannya di bawah ini.

Contents

Sejarah Kerajaan Buleleng

Kerajaan Buleleng, yang merupakan kerajaan tertua di Bali, terletak di wilayah utara pulau tersebut dan didirikan sekitar pertengahan abad ke-17. Menurut catatan dari sumber-sumber Cina, di sebelah timur Kerajaan Kalingga terdapat daerah bernama Po-li atau Dwa-pa-tan yang diyakini setara dengan Bali. Adat istiadat yang ditemui di Dwa-pa-tan mirip dengan kebiasaan orang-orang Kalingga.

Sebagai contoh, penduduk biasa menggunakan daun lontar untuk menulisi. Ketika ada seseorang meninggal, mayatnya dihiasi dengan perhiasan emas dan sepotong emas dimasukkan ke dalam mulutnya, sementara tubuhnya diberi bau-bauan harum sebelum akhirnya dibakar. Hal ini menunjukkan perkembangan budaya di Bali.

Kehidupan Politik Kerajaan Buleleng

Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa, yang menurut prasasti Belanjong, berasal dari keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan tersebut mendorong Sri Kesari Warmadewa untuk meninggalkan Jawa dan mendirikan pemerintahan baru di wilayah Buleleng, Bali.

Antara tahun 989 hingga 1011, Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa, yang memiliki tiga putra: Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Airlangga kemudian menjadi penguasa terbesar Kerajaan Medang Kemulan di Jawa Timur. Berdasarkan prasasti yang ditemukan di Pura Batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur, karena permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni, adalah keturunan Mpu Sindok. Setelah Udayana, putranya Marakatapangkaja menggantikan posisi sebagai raja.

Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai sumber kebenaran hukum karena ia selalu melindungi mereka. Marakatapangkaja juga membangun beberapa tempat ibadah untuk rakyatnya, termasuk kompleks candi di Gunung Kawi, Tampaksiring. Pemerintahan Marakatapangkaja kemudian digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu, yang dianggap sebagai raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga stabilitas kerajaan dengan menangani berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar kerajaan.

Dalam menjalankan pemerintahan, Raja Buleleng dibantu oleh badan penasihat pusat yang disebut Pakirankiran I Jro Makabehan. Badan ini terdiri dari senapati dan pendeta Siwa serta Buddha, yang bertugas memberikan nasihat kepada raja tentang berbagai permasalahan dalam masyarakat. Senapati bertanggung jawab atas bidang kehakiman dan pemerintahan, sedangkan pendeta mengurus masalah sosial dan agama.

Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Buleleng

ara ahli memperkirakan bahwa kondisi masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa tidak terlalu berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Pada masa pemerintahan Udayana, masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebut wanua. Mayoritas penduduk wanua ini berprofesi sebagai petani. Setiap wanua dipimpin oleh seorang tetua yang dianggap bijaksana dan mampu mengayomi masyarakat.

Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua kelompok besar: golongan caturwarna dan golongan luar kasta, yang disebut “jaba”. Pembagian ini didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali. Raja Anak Wungsu juga memperkenalkan sistem penamaan bagi anak-anak, di mana anak pertama dinamai Wayan (yang berarti “tua”), anak kedua dinamai Made (yang berarti “tengah”), anak ketiga dinamai Nyoman (yang berarti “muda”), dan anak keempat dinamai Ketut (yang berarti “belakang”).

Selama pemerintahan Anak Wungsu, peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil, dan masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika ada yang ingin menyampaikan pendapat, mereka dapat didampingi oleh pejabat desa untuk bertemu langsung dengan raja. Kebebasan ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya.

Masyarakat Buleleng juga telah mengembangkan berbagai kegiatan seni. Seni berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Udayana, terbagi menjadi dua jenis: seni keraton dan seni rakyat. Dalam seni keraton, terdapat penyanyi istana yang disebut Pagending Sang Ratu, serta kesenian seperti pertunjukan topeng, gamelan, gadelan, dan lawak. Sedangkan kesenian yang berkembang di kalangan rakyat meliputi wayang keliling, peniup suling, permainan topeng, permainan genderang, dan permainan angklung.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Buleleng

Kegiatan ekonomi masyarakat Buleleng pada dasarnya bergantung pada sektor pertanian. Keterangan tentang kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng dapat ditemukan dalam Prasasti Bulian. Prasasti tersebut mencantumkan beberapa istilah terkait dengan sistem pertanian, seperti sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal (ladang di pegunungan), dan kasuwakan (pengairan sawah).

Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja, kegiatan pertanian mengalami perkembangan pesat. Hal ini terkait erat dengan penemuan urutan proses menanam padi, yaitu mbabaki (pembukaan tanah), mluku (membajak), tanem (menanam padi), matun (menyiang), ani-ani (menuai padi), dan nutu (menumbuk padi). Dari keterangan tersebut, terlihat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja, pengolahan tanah sudah cukup maju dan tidak jauh berbeda dengan praktik pertanian saat ini.

Perdagangan antarpulau di Buleleng juga sudah cukup maju, yang ditandai dengan banyaknya saudagar yang datang dan melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk setempat. Salah satu komoditas perdagangan terkenal dari Buleleng adalah kuda. Dalam Prasasti Lutungan, disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi perdagangan tiga puluh ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan pada masa itu sudah cukup maju, karena kuda merupakan binatang besar yang memerlukan kapal besar untuk diangkut.

Kehidupan Agama Kerajaan Buleleng

Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng, namun tradisi megalitik masih tetap kuat di dalam masyarakat tersebut. Hal ini dibuktikan dengan penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berunduk di sekitar pura-pura Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa (975-983 M), pengaruh agama Buddha mulai berkembang di Buleleng. Agama Buddha menyebar di beberapa tempat di Buleleng, seperti Pejeng, Bedulu, dan Tampaksiring. Perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai dengan penemuan unsur-unsur Buddha, seperti arca Buddha di Gua Gajah dan stupa di Pura Pegulingan.

Agama Hindu dan Buddha mulai memainkan peran penting pada masa pemerintahan Raja Udayana. Pada periode ini, pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai penasihat raja. Menurut kepercayaan Hindu, raja dianggap sebagai penjelmaan atau “inkarnasi” dewa. Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan masyarakat Buleleng secara umum merupakan penganut Waisnawa, yaitu pemuja Dewa Wisnu. Selain agama Hindu dan Buddha, di Buleleng juga berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-dewa tertentu, seperti sekte Ganapatya (penyembah Dewa Gana) dan Sora (penyembah dewa Matahari).

Kerajaan Buleleng

Raja-Raja Kerajaan Buleleng

Berikut merupakan raja-raja yang memerintah Buleleng:

  1. 882M – 914M Shri Kesari Warmadewa
  2. 915M – 942M Shri Ugrasena
  3. 943M – 961M Shri Tabanendra Warmadewa
  4. 961M – 975M Shri Candrabhaya Singha Warmadewa
  5. 975M – 983M Shri Janasadhu Warmadewa
  6. 983M – 989M Shri Maharaja Sriwijaya Mahadewi
  7. 989M – 1011M Shri Udayana Warmadewa (Dharmodayana Warmadewa) – Gunaprya Dharmapatni
  8. Shri Udayana Warmadewa, menurunkan tiga putra:
  9. Airlangga
  10. Marakata
  11. Anak Wungsu
  12. 1011M – 1022M Shri Adnyadewi / Dharmawangsa Wardhana
  13. 1022M – 1025M Shri Dharmawangsa Wardhana Marakatapangkaja
  14. 1049M – 1077M Anak Wungsu
  15. 1079M – 1088M Shri Walaprabu
  16. 1088M – 1098M Shri Sakalendukirana
  17. 1115M – 1119M Shri Suradhipa