Sejarah Pramuka Di Indonesia Dan Dunia

Sejarah Pramuka – Gerakan Pramuka Indonesia adalah sebuah organisasi pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan di Indonesia. Kata “Pramuka” sendiri merupakan singkatan dari Praja Muda Karana, yang memiliki arti Orang Muda yang Suka Berkarya.

Contents

Pengertian Pramuka

Pramuka merupakan sebutan bagi anggota Gerakan Pramuka, yang terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu Pramuka Siaga, Pramuka Penggalang, Pramuka Penegak, dan Pramuka Pandega. Selain itu, terdapat juga kelompok anggota lainnya seperti Pembina Pramuka, Andalan, Pelatih, Pamong Saka, Staf Kwartir, dan Majelis Pembimbing.

Seorang Pramuka haruslah telah dilantik menjadi anggota Gerakan Pramuka dengan mengucapkan satya (janji) pramuka. Dari uraian di atas, dapatlah kita memahami pengertian dan perbedaan dari ketiga istilah tersebut. Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa kepramukaan merupakan sebuah sistem pendidikan, dan Gerakan Pramuka merupakan organisasi yang melaksanakan sistem tersebut (kepramukaan). Sedangkan Pramuka mengacu kepada individu yang menjadi anggota dari Gerakan Pramuka. Jadi, meskipun memiliki pengertian yang berbeda, kepramukaan, Gerakan Pramuka, dan Pramuka saling terkait satu sama lain.

Sejarah Pramuka di dunia

Kelahiran Gerakan Pramuka Dunia dimulai pada Tahun 1907 ketika Robert Baden-Powell, seorang Letnan Jendral Angkatan Bersenjata Britania Raya, dan William Alexander Smith, pendiri Boy’s Brigade, mengadakan perkemahan Kepanduan pertama di Kepulauan Brownsea, Inggris. Ide untuk mendirikan gerakan tersebut muncul ketika Baden-Powell dan pasukannya berjuang mempertahankan Kota Mafeking, Afrika Selatan, dari serangan tentara Boer.

Ketika itu, pasukan Baden-Powell mengalami kekalahan besar dibandingkan dengan tentara Boer. Untuk mengatasi situasi tersebut, sekelompok pemuda dibentuk dan dilatih untuk menjadi tentara sukarela. Tugas utama mereka adalah membantu militer mempertahankan kota. Meskipun tugas mereka tergolong ringan, namun sangat penting, seperti mengantarkan pesan yang diberikan Baden-Powell ke seluruh anggota militer di kota tersebut. Pekerjaan mereka berhasil dilaksanakan dengan baik, sehingga pasukan Baden-Powell dapat mempertahankan Kota Mafeking selama beberapa bulan.

Sebagai penghargaan atas keberhasilan yang mereka capai, setiap anggota tentara sukarela diberi sebuah lencana. Gambar dari lencana ini kemudian dijadikan sebagai logo dari Gerakan Pramuka Internasional. Keberhasilan Baden-Powell dalam mempertahankan Kota Mafeking membuatnya dianggap sebagai seorang pahlawan. Ia kemudian menulis sebuah buku yang berjudul Aids to Scouting (ditulis tahun 1899), yang kemudian menjadi buku terlaris pada masanya.

Tahun 1920, diselenggarakan Jambore Dunia yang pertama di Olympia Hall, London. Baden Powell diangkat sebagai Bapak Pandu Sedunia (Chief Scout of The World). Kemudian disusul dengan berbagai acara Jambore Dunia di berbagai negara pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu, pada tahun 1914, Baden-Powell menulis petunjuk untuk kursus Pembina Pramuka yang baru dapat terlaksana pada tahun 1919.

Dari sahabatnya yang bernama W.F. de Bois Maclarren, Baden-Powell mendapat sebidang tanah di Chingford yang kemudian digunakan sebagai tempat pendidikan Pembina Pramuka dengan nama Gilwell Park. Tahun 1920, dibentuk Deewan Internasional dengan 9 orang anggota dan Biro Sekretariatnya di London, Inggris. Tahun 1958, Biro Kepramukaan sedunia dipindahkan dari London ke Ottawa, Kanada. Pada tanggal 1 Mei 1968, Biro kepramukaan Sedunia dipindahkan lagi ke Geneva, Swiss.

Sejak tahun 1920 hingga 19 Kepala Biro Kepramukaan Sedunia dipegang secara berturut-turut oleh beberapa orang. Baden-Powell juga berkontribusi dalam pengembangan Gerakan Pramuka melalui pertemuannya dengan Ernest Thompson Seton yang mengirimkan bukunya berjudul The Birchbark Roll of the Woodcraft Indians. Seton mendorong Baden-Powell untuk menulis kembali bukunya, Aids to Scouting, dengan versi baru yang diberi judul Boy’s Patrols.

Sejarah Pramuka

Sejarah Pramuka di Indonesia

Sebulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh kepramukaan berkumpul di Yogyakarta dan sepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja, menunjukkan pembentukan satu wadah organisasi kepramukaan untuk seluruh bangsa Indonesia dan segera mengadakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia.

Kongres yang dimaksud, dilaksanakan pada tanggal 27-29 Desember 1945 di Surakarta dengan hasil terbentuknya Pandu Rakyat Indonesia. Perkumpulan ini didukung oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan “Janji Ikatan Sakti”, lalu pemerintah RI mengakui sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.

Tahun-tahun sulit dihadapi oleh Pandu Rakyat Indonesia karena serbuan Belanda. Bahkan pada peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1948, ketika diadakan api unggun di halaman gedung Pegangsaan Timur 56, Jakarta, senjata Belanda mengancam dan memaksa Soeprapto menghadap Tuhan, gugur sebagai Pandu, sebagai patriot yang membuktikan cintanya pada negara, tanah air, dan bangsanya. Di daerah yang diduduki Belanda, Pandu Rakyat dilarang berdiri. Keadaan ini mendorong berdirinya perkumpulan lain seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), Kepanduan Indonesia Muda (KIM).

Ipindo merupakan federasi bagi organisasi kepramukaan putera. Pada tahun 1953, Ipindo berhasil menjadi anggota kepramukaan sedunia, sedangkan bagi organisasi puteri terdapat dua federasi yaitu PKPI (Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia) dan POPPINDO (Persatuan Organisasi Pandu Puteri Indonesia). Kedua federasi ini pernah bersama-sama menyambut kedatangan Lady Baden-Powell ke Indonesia, dalam perjalanan ke Australia.

Dalam peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-10, Ipindo menyelenggarakan Jambore Nasional, bertempat di Ragunan, Pasar Minggu pada tanggal 10-20 Agustus 1955, Jakarta.

Ipindo sebagai wadah pelaksana kegiatan kepramukaan merasa perlu menyelenggarakan seminar agar dapat mendapatkan gambaran upaya untuk menjamin kemurnian dan kelestarian hidup kepramukaan. Seminar ini diadakan di Tugu, Bogor pada bulan Januari 1957. Seminar Tugu ini menghasilkan suatu rumusan yang diharapkan dapat dijadikan acuan bagi setiap gerakan kepramukaan di Indonesia. Dengan demikian diharapkan kepramukaan yang ada dapat dipersatukan. Setahun kemudian, pada bulan November 1958, Pemerintah RI, dalam hal ini Departemen PP dan K mengadakan seminar di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, dengan topik “Penasionalan Kepanduan”.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah salah satu tokoh lahirnya Pramuka Indonesia. Dia pernah menjabat Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) pertama sejak Pramuka berdiri pada tanggal 14 Agustus 1961. Empat periode berturut-turut, Sri Sultan Hamengku Huwono IX menjabat yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970, dan 1970-1974. Dalam sejarah kepanduan Indonesia, Sri Sultan HB IX merupakan salah satu tokoh yang berhasil menyatukan berbagai organisasi kepanduan di Indonesia menjadi satu wadah yakni Pramuka sehingga dinobatkan sebagai Bapak Pramuka.

Dalam buku berjudul ‘Hamengku Buwono IX, Inspiring Prophetic Leader, Memimpin dengan Kecerdasan Intelektual dan Spiritual’, editor Parni Hadi dan Nasyith Majid terdapat beberapa tulisan kenangan dari pengurus Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Salah satunya adalah Prijo Judiono yang saat itu bekerja di kantor Kwartir Nasional Gerakan Pramuka pada tahun 1972. Saat itu, Sri Sultan HB IX menjabat ketua Kwarnas keempat periode 1970-1974 sekaligus menjabat sebagai Menteri Negara Ekuin.

Di Kwartir Nasional, dia dipanggil dengan sebutan ‘Kak Sultan HB IX’. Prijo merekam berbagai hal atau pengalaman selama bekerja di Kwarnas. Beberapa di antaranya mengenai perjalanan ke Sumatera Utara untuk menuju pertemuan Kwarda di perkemahan Sibolangit, dekat Brastagi. Dia menceritakan saat perjalanan melewati Gunung Sibayak dengan jalan menanjak dan sempit, pengawalan dari voorrijder CPM mendadak berhenti di tengah jalan. Mobil yang dinaiki Sri Sultan HB IX bersenggolan dengan mobil dari arah berlawanan.

Voorrijder CPM berhenti, langsung turun dan melayangkan bogem mentahnya. Melihat insiden tersebut, Sultan turun melerai: “Sudah, sudah…!” Kontan drama kekerasan itu berhenti, semua tenang kembali ke posisi masing-masing, semua naik mobil kembali, starter menuju Bumi Perkemahan Sibolangit. Tak ada apa-apa lagi. Semua acara berjalan lancar hingga selesai.